Archive for the ‘ Perbaikan Diri ’ Category

Menyadari Batasan Mencinta

Menyadari Batasan Mencinta

 

            Cinta merupakah suatu motivasi terbesar individu untuk diam atau berbuat sesuatu. Manusia sering berpikir mereka dapat melakukan apapun demi Cinta. Segala pengorbanan gila-gilaan dilakukan, yang tujuannya adalah kebahagiaan. Padahal, tujuan tersebut seringkali dipahami keliru. Apa yang sebenarnya mereka cari ialah rasa memiliki/berperan yang besar dalam suatu hubungan sehingga dapat menagih hal yang pantas dari pasangan. Pengorbanan juga ‘tak jarang diperbuat untuk membuktikan rasa sayang pada kekasih. Kalau ini inisiatif, tentu harus dimengerti perbedaan antara menyogok dan berupaya romantis! Tapi bila itu permintaan si dia, mesti pula dicermati apa ia sedang memanfaatkan anda atau tidak! Cinta mestinya bukan dianggap sebuah keadaan yang memungkinkan segala hal melainkan, sarana pengujian limit pengendalian diri.

    

Pengantar

Acap kali apa yang sebenarnya dilakukan demi Cinta bukanlah karena seseorang melainkan untuk diri kita sendiri. Kita haus akan rasa dicintai, dihargai, dianggap, dan dibutuhkan oleh lawan jenis sehingga rela berbuat segalanya supaya hal-hal tersebut teratasi. Manusia harus menyadari bahwa Cinta bukan proses melainkan bagian dari hasil! Alih-alih menyiapkan masa depan dengan mengejar prestasi dan mengasah banyak  keahlian, kita malah lebih senang tenggelam dalam pengabdian pada pacar. Padahal jika anak muda mau menahan, nantinya kematanganlah yang menuntun mereka pada makin kayanya makna hubungan dan bukannya ritus belaka. Jantung mereka akan lebih kencang berdegup kala memberi hadiah pacar dari keringat sendiri walau itu kecil, ketimbang besar lagi mahal tapi hasil meminta orang tua. Cinta mestinya tidak remaja kategorikan sebagai masalah sosial melainkan pribadi. Sebab dengan begitu mereka tidak harus mengemis pengakuan orang bagi romansa mereka. Artikel ini akan berisi sedikit pemikiran Subjektif Ucihasantoso seputar batasan mencinta.

    

“Siapa yang mampu menerapkan hukum pada sejoli? Cinta adalah hal yang lebih besar dari hukum itu sendiri.”

Boethius (Anicius Manlius Severinus)

 

Kekhawatiran Romansa

            Kadang ada saja individu yang sangat pemilih dalam berasmara. Pemilih bukan cuma tentang kriteria calon pasangan tapi juga waktu yang tepat untuk memulai Cinta baru. Para pemilih ada yang memiliki keinginan kukuh dan perfek terhadap pasangan namun pula beberapa cukup realistis dengan mempersyaratkan hal-hal dasar saja sedangkan detail percintaan nantinya terserah keadaan. Bahasan barusan menunjukkan bahwa sesekali batasan Cinta bukan berasal dari keadaan melainkan pola pikir kita sendiri. Tapi, meniadakan batasan romansa diri justru bukan berarti paradigma anda maju. Ini malah mengindikasikan impulsivitas, kurangnya kendali diri, atau masalah pada ego.

Cinta sebenarnya dibatasi ketat oleh realita. Apa pernah anda sudah berusaha sekeren mungkin tapi tidak ada cewek yang tertarik? Kenapa? Ada kemungkinan di daerah anda tersebut tidak ada cewek yang kriteria calon pacarnya seperti anda. Bisa juga karena cewek di daerah anda gengsinya tinggi-tinggi sehingga mereka butuh didekati, dimanja, dan diberi hadiah banyak dulu sebelum mau dipacari. Cinta tidak dibatasi status (jomblo atau berpacaran). Kalau Cinta pada diri dan keluarga menjadikan anda lebih mendahulukan kebahagiaan keduanya sebelum anak orang, itu merupakan pilihan dewasa. Cinta pada anak muda semata merupakan opsi untuk menghabiskan waktu. Orang yang sering pacaran memang lebih banyak pengalaman tapi bukan berarti makin paham perempuan. Cinta sering dibatasi norma yang berlaku di suatu masyarakat. Perancis membolehkan homoseksual dan “Incest” atas dasar hak asasi manusia, sedangkan di banyak negara termasuk Indonesia walau argumennya sama tapi tetap saja dilarang dikarenakan norma agama dan sosial yang luas berlaku. Cara mengungkapkan Cinta juga bergantung pada budaya. Jika bagi remaja Indonesia “Jadian” dianggap sebagai budaya mengejawantahkan Cinta maka, siapapun yang menolak melakukannya bakal menemui kesulitan.

Cinta anak muda terbatas pada ketidakjelasan tujuan. Mau menikah namun belum sama sekali siap; ditinggalkan tapi gamang diejek karena menjomblo. Hakikatnya, makin lama remaja bergumul dengan teman-temannya kian besarlah kemungkinan mereka untuk mengikuti apa kebiasaan pergaulannya. Contohnya seperti merokok, minum-minuman keras, seks bebas, atau menyalahgunakan narkotika. Semua hal diatas acap kali dipelajari dan diperkuat oleh pergaulan. Tidak ada orang yang cukup keras mentalnya untuk terus-menerus bertahan dari ajakan atau hasutan pergaulan. Kalau jomblo merupakan keanehan dalam suatu lingkaran sosial maka nyaris pasti anggotanya bakal sebisa mungkin menghindari itu. Lantaran itulah hubungan kadang merupakan aksesoris sosial ketimbang suatu tujuan.

    

Keterangan Lanjutan

            Tiap remaja suatu daerah pasti punya cara tertentu dalam memandang romansa. Interaksi sesama mereka yang terus berulang dan terpola seakan memberikan skema sosial alternatif. Penggolongan diantara mereka akan terjadi minimal berdasarkan asal sekolah, tempat menongkrong, atau kegemaran. Meski basis sosial masing-masing anak muda tersebut beda namun biasanya cara mereka menyikapi Cinta relatif sama/standar. Tapi, gaya romansa bisa jauh berbeda ketika suatu golongan memang secara mendasar terpisah dari masyarakat, misalnya “Anak punk”. Romansa bisa terbatasi oleh paham-paham anti kemapanan. Mereka membatasi konvensi apa yang berlaku atau tidak dalam percintaan. Selain pengaruh teman sebaya dan norma kelompok, berikut beberapa hal yang lazim membentuk batas dan arah romansa remaja suatu daerah:

  1. Budaya

Romansa berkembang sesuai keterbukaan suatu kebudayaan. Terbuka beda dengan permisif. Terbuka artinya kita mengizinkan pribadi untuk mendengar pendapat orang dan mengoreksi diri. Ketika masyarakat mempermisifkan pergaulan namun budaya kemandirian, ketersediaan lapangan kerja, dan rasa bertanggung jawab tidak mencukupi bagi generasi muda maka kehancuran yang bakal tiba. Perempuan muda aborsi akan bertebaran, pernikahan dini bakal merebak, serta perceraian dikarenakan terlalu belianya usia pasutri juga niscaya meningkat. Budaya yang masih menjunjung tradisi luhur biasanya tidak memberi banyak ruang bagi percintaan lantaran kentalnya kekeluargaan sehingga apapun gerak-gerik romansa anak-anak mereka pasti harus sepengetahuan orang tua masing-masing.

Kian luas tren individualisme maka makin besarlah pengaruh media sosial dalam budaya romansa kaum muda. Gelombang ide percakapan di media sosial bisa melemahkan atau memperkuat persepsi remaja terhadap suatu hal. Dengan makin kritisnya generasi muda terhadap golongan tua, media arus utama, dan paham-paham mapan maka tren di media sosial seakan kian jadi acuan perilaku mereka di dunia nyata. Kebenaran media sosial begitu preferensial yang dapat memicu anomi sehingga menuntut pembekalan moral dan agama yang baik pada anak muda. Anomi yang terjadi bisa membuat anak muda keblinger dengan memilih lebih mencintai pacar yang baru kemarin dikenal ketimbang keluarga yang telah membesarkan mereka.

    

  1. Pengaruh Tayangan TV

Harus diakui bahwa membanjirnya tayangan tertentu pasti karena banyak permintaan terhadap mereka. Memang diantara tayangan-tayangan tersebut sudah ada yang menyertakan sekelumit ajaran kebaikan tapi tetap saja belum berimbang. Tayangan kita lebih kerap mengekspos mudah dan indahnya Cinta anak muda tanpa menunjukkan unsur konsekuensi finansial. Walau tayangan romansa Barat kadang mengumbar syahwat namun untuk cerita Cinta remajanya mereka tidak glamor. Untuk kencan orang dewasa mereka memang sering menampilkan makan malam romantis yang mewah. Tapi, untuk kisah Cinta remajanya mereka begitu sederhana dengan mempertunjukkan asyiknya kencan di taman, pesta di rumah kawan, atau hanya olah raga bersama—tidak ada yang mahal.

Bandingkan dengan sinetron Indonesia! Mereka membelikan bunga, hadiah, mengajak makan di cafe, dsbg tanpa jelas yang dipakai itu uang siapa. Akibatnya remaja Indonesia meniru mereka dan terdoktrin untuk tidak merasa bertanggung jawab atas uang yang orang tua berikan. Padahal uang tersebut dialokasikan orang tua guna peningkatan kualitas diri anak-anaknya. Lalu bagaimana menurut anda perasaan orang tua saat tahu karena limpahan uang itulah anak-anak mereka justru jadi individu yang melalaikan studi, lekas galau, bermental lembek, dan mudah diperdaya perempuan? Tayangan Indonesia tidak mengajarkan remaja bersikap dewasa. Mereka justru mengaburkan konsep kedewasaan hubungan dengan mengumbar nuansa seksualitas romansa. Pada akhirnya tayangan TV ikut menentukan paradigma tentang batasan romansa generasi muda.

    

  1. Orang Tua

Keluarga merupakan tempat pertama dan terakhir yang mampu mengajarkan kepatutan mencintai sesuatu. Keluarga adalah sekumpulan orang waras yang kompeten menasihati saat anda dimabuk Cinta. Mereka tahu bagaimana sifat anda. Memang banyak orang tua yang tidak tahu cara mempersiapkan anak remajanya untuk menghadapi Cinta. Karena takut celaka, mereka ada yang sama sekali melarang anaknya pacaran. Tapi, beberapa membolehkan dengan syarat-syarat sedangkan tidak sedikit pula yang sama sekali membiarkan. Orang tua adalah lembaga primer yang meracik banyak nilai budaya, pengaruh tontonan, serta norma sosial untuk diajarkan sebagai wejangan romansa bagi para keturunannya. Orang tua adalah lembaga primer yang memberi contoh anaknya tentang kehidupan keluarga yang spantasnya. Kedua orang tua adalah model bagi anak soal bagaimana memperlakukan pasangannya.

   

Kesimpulan

            Batasan mencinta dapat berasal dari budaya, lingkaran sosial, atau nilai dalam diri anda sendiri. Batasan romansa yang tidak ada atau terlalu luas kadang mengindikasikan masalah ego. Remaja harusnya tahu bahwa sekarang tugas perkembangan mereka bukan lagi main, tapi juga belum untuk kawin! Mereka tidak bisa menggabungkan keduanya jadi “Main kawin-kawinan”! Remaja memang boleh mengenal Cinta tapi bukan untuk tenggelam di dalamnya dan melalaikan persiapan masa depan. Kian abstrak pengertian remaja tentang Cinta makin baguslah pemahaman konkret mereka.

   

Daftar Pustaka:

Morissan (2013). Teori Komunikasi Individu Hingga Masa. Jakarta: Kencana.